Dasar Konvenisonal..!!
Kalimat dari teman satu kelasku itu selalu mengiang di telinga. Membuat telingaku kebrebeken dipenuhi kalimat itu. Bagaimana tidak, seenaknya saja dia mengataiku sebagai konvensional man, pria konvensional. Entah sudah berapa kali dia menggunakan sepasang kata itu ketika beradu pendapat denganku. Namanya Dian, dari pantura, tapi wataknya keras mirip orang batak. Seharusnya kami bisa akrab karena kami satu rumpun daerah –pantura– dan kota kami bertetangga. Kenyataannya jauh api dari panggang.
Pernah suatu saat kami berbeda pendapat tentang hukum berboncengan dengan lawan jenis.
“Apa salahnya kalau kita berboncengan dengan lawan jenis? Toh cuman boncengan, nggak macem-macem.” tanyanya tidak terima ketika aku menolak mengantarkan teman perempuan kami pulang.
Sebenarnya, aku agak malas jika harus diskusi dengan temanku ini. Selalu saja berakhir debat. Ya..debat kusir, debatnya “para kusir” yang nggak pernah habis dan nggak pernah jelas tujuannya pembicaraan mereka kemana. Dan tentu saja –selalu– menghasilkan sebuah ejekan buatku, dasar konvensional man!! Ah.. apa boleh buat. Kulayani juga sekeranjang perantanyaan dan argumennya kali ini.
“Pernah dengar nggak hadits rasul yang menyuruh kita untuk nggak khalwat?” tanyaku kalem.
“Khalwat? Apa itu?” Matanya terbelalak kaget dan spontan mulutnya melafalkan kata aneh yang tidak ada di memori otaknya itu. Khalwat. Sudah bisa kuduga. Dia pasti tidak tahu apa itu khalwat.
“Khalwat itu berdua-duaan dengan lawan jenis. Tahu kan kalau berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram pihak yang ketiga itu setan? Boncengan itu berduaan bukan?” tanyaku lagi sambil coba menjelaskan apa itu khalwat.
Dian hanya manggut-manggut mengiyakan, namun airmukanya mengisyaratkan bahwa dia belum mau mengalah.
“Tapi kan hanya boncengan, nggak lebih. Lagian cuman nganterin pulang kerumah atau nganterin kemana. Allah pasti tahu kok niat orang yang boncengin kita baik, cuman nganterin pulang.”
Memang susah kalau diskusi dengan temanku yang ini. Bagai menaiki tangga yang tiada ujung. Bukan tujuan yang dicapai hanya mendapatkan capai. “Selama bisa dihindari, kenapa harus boncengan? Toh dia bisa naik angkot atau taksi. Bila perlu jalan kaki.”
Dian masih tidak terima. Dia keukeuh dengan pendiriannya. Selama niatnya baik, boncengan dengan laki-laki yang bukan mahram itu nggak apa-apa. Dan percuma saja aku menjelaskan apa itu khalwat, apa itu ikhtilat, dan segudang kata-kata aneh –yang tidak ada di memori Dian– lain. Meski mulutku sampai berbusa-busa, tenggorokan kering kerontang, tetap saja respon yang meluncur dari mulutnya hanya satu.
Dasar konvensional man..!!
*******
Aku belum bisa mengerti maksudmu, tidak juga paham dengan cara berpikirmu Kau selalu menyebutku konvensional. Apa aku mirip orang kuno yang hidup 100 tahun yang lalu. Tidak bukan? Pakaianku tidak seperti mereka dan aku bukan mereka. Celana yang kupakai celana kain kadang celana kargo, kalau tidak kemeja biasanya aku memakai atasan kaos oblong ditambah jaket. Apa aku mirip orang-orang desa dulu yang masih menggunakan tenaga sapi atau kerbau untuk membajak sawah mereka bukan menggunakan traktor. Tidak juga bukan? Aku punya handphone, lulus sma dan sekarang kuliah di sini, bisa naik sepeda motor, nonton tivi, sama dengan orang-orang yang lain. Lalu, bagian mana dari diriku yang kau sebut konvensional?
Pernah suatu sore ketika ada diskusi kelas tentang produksi media massa. Entah ini yang keberapa kali dia mengataiku konvensional. Kalimat itu keluar dengan merdu dari mulutnya saat aku mengomentari iklan di salah satu majalah yang menurutku menjurus pada pronografi. Belum selesai aku berkomentar, Dian sudah memotong komentarku dengan berseloroh di depan teman-teman, “Itu bukan porno tahu. Itu seni. Wajar kan jaman sekarang banyak iklan yang kayak begituan. Jaman sudah berubah, Bung.”. Dan lagi-lagi aku mendapatkan hadiah dari Dian.
“Dasar konvensional man..!!”
*******
Hampir dua semester ternyata aku sekelas dengan Dian. Kalau dihitung berdasar jumlah hari dalam dua semester yang berbanding lurus dengan jumlah sepasang kata itu, berarti sudah sekitar 240 kalimat itu menerpa dua gendang telingaku ini. Dan baru sekarang aku tahu apa sebab Dian mengataiku konvensional. Cara pikir, cara pandang, cara paham, frame of reference dan field of experience kami berbeda dalam menghadapai sesuatu.
“Kenapa kamu nggak pernah mau kalau diajak salaman sama kami?” Tanya Dian. Sepertinya dia mulai memacing air perseteruan lagi denganku. Jelas-jelas dia sudah tahu prinspku bagaimana. Dan dia sangat paham itu.
Aku mendengus kesal. Namun aku harus tetap tenang dan sabar menghadapinya. “Itu prinsipku. Dan kau tahu itu.” kataku. “Sepengetahuanku Rasul saja lebih memilih ditusuk ubun-ubun beliau dengan besi panas dari pada bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram. Bersalaman? Bukankah itu bersentuhan kulit juga?” aku mencoba membuatnya mengerti.
Meski aku pernah membaca fatwa dari DR. Qardhawi, beliau mengecualikan boleh bersalaman saat lebaran dengan saudara-saudara jauh kita yang bukan mahram dan wanita yang sudah tidak mempunyai hasrat lagi. Atau boleh bersalaman saat kita bertemu dengan saudara kita yang lama tidak pernah berjumpa. Hanya sekedar bersalaman untuk menguatkan rasa rindu dan rasa persau
daraan saat bertemu kembali.
Namun, dengan mereka, teman-teman perempuan satu kelasku? Apa pasal aku harus meninggalkan prinsipku. Jelas-jelas setiap hari bertemu dengan mereka, jelas juga mereka masih mempunyai hasrat –walau nafsu mereka tidak akan mun cul begitu saja hanya dengan bersalaman. Tapi setidaknya aku memilih untuk lebih bersikap hati-hati. Ya, dengan tidak bersalaman dengan mereka.
Dian tetap saja Dian. Wataknya tidak akan mengijinkan otaknya untuk menerima sesuatu yang tidak masuk watak bukan sesuatu itu masuk akal. Dia masih saja berkilah dengan segudang pendapatnya. Dan seperti biasa, bonus akhir diskusi darinya.
Dasar konvensional man..!!
“Yes, I am a conventional man and you are modern girl” balasku.
.::10.15.TigaPuluhMeiDuaRibuDelapan::.
Haha… I’m a conventional man..!! untuk ikhwah fillah semua..keep dakwah in this earth.